Halal Bi-Halal






HALAL BI-HALAL


Bulan Ramadlan sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi Saw adalah kesempatan waktu untuk meningkatkan nilai keimanan dan kualitas ibadah sebagai cerminan hubungan 'kesalehan' antara makhluk dan Allah, begitu pula di dalamnya ada nilai-nilai ibadah sosial antar sesama manusia seperti zakat fitrah, takjil buka puasa dan sebagainya. Di akhir puasa, setelah mampu menjalankan perintah Allah dan mampu mengalahkan nafsu, kita mengagungkan Allah pada malam hari raya, sebagaimana firman Allah Swt:

وَلِتُكْمِلُوْا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ﴿البقرة : 185
"Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan Ramadlan dan hendaklah kamu (bertakbir) mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur" (al-Baqarah: 185)

Selesai berhari raya, khususnya di Indonesia ada sebuah tradisi yang menggambarkan 'memperbaiki dan mempererat hubungan antar sesama manusia' sebagai simbol keharmonisan dengan lingkungan sosialnya setelah mereka memperbaiki hubungan dengan sang Khaliq selama satu bulan penuh. Hal ini ditujukan agar dua sisi kehidupan tersebut bisa dicapai dengan baik, sebagaimana firman Allah Swt:

ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ بِحَبْلٍ مِّنَ اللهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ .... ﴿ال عمران : ١١٢
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia…" (Ali Imran: 112)

Tradisi tersebut populer dengan sebutan 'Halal bi Halal', sebuah nama dan istilah yang digunakan untuk saling bermaaf-maafan yang sama sekali tidak ditemukan di Negara Islam lainnya, terlebih di masa awal generasi Islam. Permasalahannya apakah kemudian halal bi halal dikategorikan sebagai bid'ah sayyiah (tercela) yang pelakunya diancam dengan neraka? Para ulama sepakat, diantaranya dipopulerkan oleh Imam Syafi'i, bahwa: 'Setiap sesuatu yang memiliki dalil dasar dalam agama, maka tidak disebut sebagai bid'ah yang tercela'. Halal bi halal memiliki konotasi makna untuk saling meminta 'kehalalan' atau permintaan maaf kepada orang lain terkait dengan perilaku atau perkataan yang menyakiti mereka. Kalimat 'meminta halal' atau maaf ini bersumber dari sebuah hadis sahih yang berbunyi:  

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ ِلأَخِيْهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ ِلأَخِيْهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيْهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ (رواه البخاري رقم 6534)
"Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa pernah berbuat dzalim kepada saudaranya, maka hendaknya ia minta kehalalannya (minta maaf). Sebab disana (akhirat) tidak ada dinar dan dirham (untuk menebus kesalahan). Sebelum amal kebaikannya diambil dan diberikan kepada saudaranya yang didzalimi tersebut. Jika ia tidak memiliki amal kebaikan, maka amal keburukan saudaranya akan dilemparkan kepadanya" (HR al-Bukhari No 6534)

Madzlamah atau perbuatan dzalim tersebut dijelaskan oleh Rasulullah Saw (dalam riwayat Ahmad No 10580) meliputi dua hal, yakni berbuat salah kepada orang lain secara fisik atau psikis, dan berbuat salah yang berkaitan dengan harta. Dari perbuatan dzalim tersebut, kita diharuskan meminta halal atau maaf kepada orang yang pernah kita dzalimi. Kendatipun terlihat remeh dan sepele, namun meminta halal atau maaf ini memiliki hikmah yang sangat berguna, yakni nanti kita tidak melewati peradilan akhirat yang sangat berat sebagaimana dijelaskan dalam hadis tersebut, sehingga kita lebih cepat dalam proses masuk ke surga Allah, Amin.

Darisinilah kita bisa melihat betapa bijaknya para ulama di Negara kita yang mampu menerapkan kandungan hadis di atas ke dalam sebuah tradisi lokal yang bisa dilakukan oleh semua kalangan.

Acara halal bi halal yang menjadi rutinitas dalam banyak kegiatan, seperti di masjid, kampung, tempat kerja, kantor dan komunitas masyarakat lainnya, tidak semata-mata menjadi seremoni belaka, namun menjadi faktor besar dalam kerukunan masyarakat, jauh dari perilaku kriminalitas dan anarkhis, juga turut menjadi penyumbang kondisi masyarakat yang agamis dan taat dalam menjalani kehidupan bernegara, sebagaimana hadis Rasulullah saw: 

عَنْ سَخْبَرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ وَأُعْطِيَ فَشَكَرَ وَظُلِمَ فَغَفَرَ وَظَلَمَ فَاسْتَغْفَرَ أُوْلَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ (رواه الطبراني في الكبير رقم 6482 والبيهقي في شعب الايمان رقم 4117)
"Diriwayatkan dari Sakhbarah bahwa Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa diberi cobaan kemudian bersabar, diberi nikmat kemudian bersyukur, dianiaya kemudian memaafkan, dan berbuat dzalim kemudian meminta maaf, maka merekalah yang mendapatkan kedamaian dan merekalah yang mendapat hidayah" (HR al-Thabrani dalam al-Kabir No 6482 dan al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 4117)

Dengan deikian, hikmah halal bi halal dapat kita ambil hikmahnya baik ketika hidup di dunia maupun di akhirat kelak. Ketika di dunia hikmahnya adalah kehidupan di lingkungan masyarakat menjadi aman, damai dan menciptakan ketertiban dalam beragama dan bernegara. Ketika di akhirat, akan meringankan beban kita dari hak-hak dan kewajiban terhadap sesama manusia. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H. Minal Aidin wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin.















Komentar

Postingan populer dari blog ini

.PERBEDAAN ANTARA CERAMAH, KHUTBAH, TABLIG, DAN DAKWAH

NAMA NAMA MALAIKAT

Mengajar Anak Mengenal Al-Quran